Kamis, 20 Mei 2010

Antara Takdir dan Do'a


"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu.” (HR Bukhari).

Doa Rasulullah tersebut dipopulerkan oleh penguasa Bani Umayyah untuk memberi kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh
banyak pakar "bertujuan politis," karena dengan doa itu para penguasa mereka melegitimasi kesewenangan pemerintahan, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203). Mereka kemudian dikenal dengan golongan Jabbariyah.

Kontan saja, pandangan “politis” tersebut menuai banyak kritik. Bahkan sebagian ulama yang kemudian menjadi golongan Qadariyah, secara sadar atau tidak mengeluarkan argumen laa qadara (tidak ada takdir), tidak percaya sama sekali pada ketetapannya. Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih? "Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf: 29).

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, MA dalam bukunya “Tafsir Maudlu’i atas Perlbagai Persoalan Umat” kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, member kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu. Dan Allah Swt menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. (lihat: QS Al-A'la: 1-3, QS Ya Sin: 38, QS Ya Sin: 39, QS Al-Furqan: 2, QS Al-Hijr: 21, QS. Al-A’la: 4-53). Intinya: "Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Al-Thalaq: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata,"Kami datang dengar penuh ketaatan." Demikian surat Fushshilat ayat 11 melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya." Apakah ini juga berlaku bagi manusia?

Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:
"Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri, walau sekejap."
Ketika di Syam terjadi wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya:
"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"
Umar r.a. menjawab, "Saya lari/menghindar dan takdir Allah kepada takdir-Nya yang lain."

Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir.

Kemampuan memilih pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. "... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk."
Hadits dari Imam Turmudzi dan Hakim, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi SAW Bersabda : “Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdo’a, maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta keselamatan. Sesungguhnya do’a bermanfa’at bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada do’a”. (HR Turmudzi dan Hakim)
Adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi. Karena ujung usaha yang disertai do’a itulah takdir!

Saudi Arabia, 12 Mei 2010, pukul 16.44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar