Ahmad Ghozali lahir di Surabaya saat fajar tanggal 16 Rajab 1408 H, bertepatan dengan 16 Maret 1987 dari sepasang suami-isteri H. Fadli dan Nur Sa’adah. Lahir tanpa ditemani atau bantuan manusia seorang pun selain ibunya. Ketika itu, sang ayah sedang berada di Kediri mengikuti pengajian sholawat Wahidiyah yang dilaksanakan setahun 2 kali, yakni pertengahan bulan Muharram dan Rajab. Dan hari pun masih gelap, sehingga tetangga banyak yang belum bangun.
Memang, sang ayah sangat kental dengan dunia tarekat maupun ajaran tasawwuf. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu, berguru ke banyak kyai di berbagai tempat. Mulai dari Banten, Madura, Sumbawa, India, Bangladesh, sampai ke Arab Saudi. Sang ayah yang asli Klaten dan masih ada keturunan keraton tersebut mempunyai pandangan berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Saat itu, keadaan masyarakat Klaten terbius oleh iming-iming kesenangan duniawi. Seluruhnya bekerja dan berlomba-lomba menumpuk kekayaan. Sekolah hanya sampai tingkat SD, setelah itu bekerja, tak terkecuali dengan adik-adiknya yang berjumlah 8 orang. Berbeda dengan Fadli kecil yang terus melanjutkan sekolahnya sampai tingkat menengah atas. Di usianya ke 20, mulailah ia hijrah ke berbagai daerah tersebut demi menuntut ilmu. Ia benar-benar meninggalkan duniawi, tidak pernah bekerja sekalipun kecuali setelah berumah tangga. Baginya, kekayaan hanya diperuntukkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja. Sisa waktunya untuk memberikan manfaat kepada semua orang, bukan menumpuk kekayaan. Sepertinya faktor-faktor itulah yang memengaruhi jalan pikiran Ghozali saat ini.
Lulus Tsanawiyah, ia ingin meneruskan studinya di salah satu pesantren di daerah Jombang yang terkenal dengan SMU Unggulannya. Memang, ia belum bisa lepas dengan hobinya dalam dunia sains. Tiga tahun di pondok belum bisa merubah pendiriannya untuk menjadi seorang ilmuwan. Tapi, sang ayah rupanya tidak mendukung, dengan alasan pondok tersebut sedang dilanda masalah internal antar pengasuh, jadi kurang kondusif untuk dijadikan tempat studi. Besoknya, berdua dengan sang ayah, ia pergi mengelilingi kota Malang mencari pesantren. Tapi, tidak menemukan satu pesantren pun yang sreg dihatinya. Akhirnya, sang ayah menawarkan solusi untuk nyantri di sebuah pesantren di daerah Ponorogo. Tanpa banyak pertimbangan, ia pun menerima tawaran itu. Tidak terpikir sebelumnya untuk bisa nyantri di pesantren itu, katanya biayanya mahal. “Bismillah…!” kata sang ibu menenangkan.
Setelah dinyatakan lulus masuk pesantren tersebut tahun 2002, Ghozali mengalami syahrul huzn (bulan kesedihan). Pasalnya 3 hari setelah masuk pesantren, ia mendapat kabar bahwa kyai yang mengasuhnya di pesantren dulu meninggal dunia. Memang, terakhir sowan, ia harus masuk ke kamar kyai untuk dapat berbincang dengannya. Sebuah kejadian yang belum pernah dialami olehnya atau bahkah seluruh santri di pondok itu.
Dua minggu setelahnya, sang ayah masuk rumah sakit. Dokter mendiagnosa bahwa ayahnya mengidap penyakit jantung, yang disebabkan oleh kebiasaannya menghisap rokok. Seumur hidup ia harus minum obat dan harus banyak istirahat. Saat itulah, sang ayah harus mengurangi aktivitasnya. Biasanya 4 kali dalam setahun, ia harus menemui klien-kliennya di Malaysia sekedar memberikan bimbingan spiritual. Salah satu kliennya adalah mantan presiden Malaysia yang membutuhkan bimbingan beliau ketika di penjara. Sisa waktunya di Indonesia, digunakan untuk mengurusi salah satu partai dan organisasi kemasyarakatan. Serta mengasuh sebuah pesantren milik sahabatnya. Menurutnya, manusia diciptakan di bumi ini untuk menjadi pemimpin dan memilihara bumi ini agar tetap terjaga. Karena, bumi sudah mulai rusak, maka harus dibenahi. Salah satunya melalui jalur kekuasaan.
Empat tahun di pesantren dilaluinya tanpa terasa karena padatnya aktivitas. Waktu 24 jam sehari yang disediakan oleh sang Pencipta dimanfaatkan sepenuhnya tanpa ada yang tersisa. Ada kejadian menarik yang ia dapat di pondok. Saat seluruh siswa akhir dilarang pulang, ia justru berulang kali pulang ke rumah. Alasanya, mencetak majalah atau buku di Surabaya. Tempat tinggalnya yang dekat dengan percetakan memang menguntungkan. Dengan motivasi ingin pulang itulah, ia banyak menghasilkan karya. Entah majalah ataupun buku. “Yang penting bisa pulang dan menengok keadaan ayah!” pikirnya.
Setelah menunaikan masa pengabdiannya di pesantren tersebut tahun 2007, ia nyantri lagi di pesantren Tahfidzil Qur’an Ampel Surabaya. Alasanya hanya satu, supaya dekat dengan sang ayah. Karena rencana awal mau nyantri di Pacet, Mojokerto. Tiap hari jum’at ia sempatkan pulang, menengok sang ayah. Sempat, ia dimarahi karena sering pulang. Tapi, niatnya tak terkalahkan. Saat-saat itulah, ia mulai sedikit mengerti tentang pribadi sang ayah. Banyak yang diajarkannya, terutama mengenai konsep hidup. Memang, selain pelajaran matematika ketika masa kecilnya dulu, ia belum pernah menerima pelajaran apapun dari sang ayah. Aneh memang, seorang ahli tasawwuf mengajar putranya matematika. Ilmu agama pun, ia dapatkan dari sang ibu yang juga tamatan pesantren. Itulah yang ia pahami sekarang, ilmu pengetahuan umum berdiri diatas landasan ilmu agama. “Menuntut ilmu itu, bukan untuk mencari ijasah, title, peringkat kelas, supaya bisa hidup enak, atau pun menjadapat pekerjaan. Tapi, untuk menghilangkan kebodohan. Tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadist.” Nasehatnya suatu ketika.
Tapi, masa-masa itu tidak berlangsung lama, tepat 3 bulan setelah nyantri di pesantren itu, sang ayah meninggal dunia. Meninggalkan lima orang anak yang dua lainnya masih berusia 6 dan 1 tahun. Tidak ada yang dapat keluar dari mulutnya kecuali, “Tahfidzil al-Qur’an memang tidak gampang. Mudah menghafalnya, tapi cobaannya sangat besar. Saya harus sabar. Seluruh keluarga adalah tanggung jawab saya.” Ujarnya.
Kini, setelah mengalami masa penyesuaian peralihan tanggung jawab tersebut, ia kembali meneruskan studinya. Mempelajari al-Qur’an di tempat turunnya, Arab Saudi. Masa-masa penyesuaian tersebut ia gunakan untuk menyelesaikan Strata 1 dan diploma bahasa Arab di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Entah cobaan apa lagi yang akan ia terima…! Ia hanya berpedoman, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.” (at-Taubah: 129).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar