Minggu, 23 Mei 2010
Menerima Kekurangan, Menggapai Keharmonisan
Banyak psikolog handal merasa kewalahan dan kebingungan untuk memahami hakikat manusia, terutama wanita. Seperti ekspresi Dr. Alexis Karel melalui bukunya Man is The Unknown yang menggambarkan akhir pencariannya pada frustasi, keputusasaan dan jalan buntu dalam memahami hakikat seorang wanita. Tentunya, seorang manusia biasa yang kurang menguasai ilmu jiwa akan lebih sulit lagi meraba kejiwaan wanita yang pada aktualisasi emosinya bagaikan gelas-gelas kristal yang memiliki banyak dimensi, segi dan sudut sebagai bagian estetikanya. Namun pada saat yang sama ia bersifat rawan pecah (fragile) dan perlu perlakukan lembut serta sensitifitas tinggi. Mereka sering diistilahkan sebagai al-jins al-lathif (jenis lembut) terutama menyangkut dinamika kejiwaan, relung-relung emosional dan lika-liku perasaannya.
Emosi seorang wanita dapat menjadi sebuah kelebihan sekaligus berpotensi menjadi kekurangannya. Kadang kaum wanita sendiri sering salah paham dan sulit memahami dirinya apalagi mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik. Mereka juga lebih suka mencari jati dirinya di luar dirinya, lebih cenderung mencari faktor, oknum dan kambing hitam selain dirinya dengan menutup, menipu dan membodohi diri sendiri, tidak rela atas kekuarangan dirinya. Oleh karenanya Allah SWT mengingatkan umat manusia untuk melihat ke dalam, mengaca diri dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan kekurangan dan kelebihannya tanpa dinodai upaya manipulasi dan distorsi. (QS. Adz-Dzariyat: 21).
Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan Muslim dijelaskan, bahwa sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk berlekuk. Jika para lelaki mencari kenikmatan darinya, mereka akan mendapatkannya. Tapi, di dalam dirinya masih tetap ada sesuatu yang melekuk. Di mana jika para lelaki hendak meluruskannya, mereka akan mematahkannya. Patah di sini berarti perceraian.
Ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah (II/708) menjelaskan bahwa hadist tersebut digunakan untuk memahami wanita (isteri). Karena pada penciptaannya terdapat sesuatu yang ‘melekuk’. Sebagaimana lazimnya, setiap sesuatu akan mewarisi sifat dasarnya. Jika seseorang ingin mengarungi bahtera rumah tangga bersama pasangannya, maka ia harus siap untuk mentolerir dan memaafkan perkara-perkara sepele yang terjadi dan menahan amarah karena sesuatu yang tidak disukainya.
Dalam hal itu, Rasulullah saw tidak bermaksud memvonis bahwa wanita itu adalah makhluk yang berperangai buruk. Beliau hanya ingin menyampaikan fakta, fenomena dan realitas nyata agar kaum pria bersikap realistis dan siap berinteraksi, bergaul dengan mitra hidupnya dan bagi kaum wanita agar dapat mawas diri. Artinya, jika dalam diri istrinya didapati suatu letupan maupun ledakan emosi, serta menyaksikan ekspresi maupun luapan perasaan yang tidak berkenan di hatinya, maka ia akan menghadapinya dengan sabar dan bermurah hati, tanpa bersikap reaktif dan terpengaruh amarah sehingga menumbuhkan kebencian dan rasa muak, namun ia seharusnya melihat sisi baik mitranya. Karena ia hanyalah seorang manusia yang mempunyai sisi baik dan sisi buruk sebagaimana dirinya. Dalam sebuah hadistnya Rasulullah menjelaskan bahwa seorang mukmin hendaknya tidak membenci mukminat hanya karena satu perangai yang dianggap buruk. Sebab, jika ia membenci satu perangai, maka pastilah ada perangai lain yang akan ia sukai.
Dr. Frederick dalam bukunya Hayatyna al-Jinsiyah mengatakan bahwa kaum wanita mengalami proses stagnasi yang tidak hanya terjadi pada perubahan fisiknya saja, melainkan juga pada tabiat dan keadaan psikisnya. Karena seandainya ia tidak memiliki emosi dan sifat kemanjaan anak-anak, maka pastilah ia tidak mampu menjadi ibu yang baik. Ia bisa dipahami anak-anak karena perasaannya yang masih terdapat unsur kekanak-kanakan. Sifat kemanjaan anak-anak pada diri seorang wanita sangat bermanfaat dalam mengelola hubungannya dengan suami beserta anak-anaknya. Sebaliknya, ia akan dipandang hina dan rendah, jika sifat itu ditampakkan pada masyarakat umum.
Menurutnya, ia akan tetap seperti anak-anak dalam kemanjaan dan emosinya, bahkan dalam perkembangannya wanita lebih banyak bersifat kekanak-kanakan. Kelembutan hatinya dan sensitivitas perasaannya cenderung semakin bertambah lebih cepat dibanding daya pikirnya. Praduga, perasaan dan emosinya lebih banyak dipakai daripada rasio. Karena ia terkondisikan untuk lebih banyak bersikap pasif daripada bersifat aktif dan lebih banyak menerima dengan sikap pasrah daripada bersikap menguasai. Ia secara kodrati tercipta untuk berada di tengah anak-anak dan suami. Demikianlah posisinya dalam keluarga, yaitu pada titik sentral, untuk menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan segala kecenderungan masing-masing.
Jika suami mampu memahami, maka ia akan menerima kenyataan dan mendapat kesenangan dari istri dalam batas-batas fitrahnya. Tetapi, jika ia tidak mampu memahaminya, maka ia akan berusaha menjadikan istrinya berbuat sesuai dengan ego kelaki-lakiannya, dari segi berfikir, sehingga mungkin ia akan gagal. Mungkin saja ia akan menghancurkan keluarganya, tempat di mana ia menyandarkan hidupnya. Karena ia menuntut hal mustahil di luar kodratnya. Oleh karenanya, Nabi saw berusaha mengingatkan suami agar hendaknya mendampingi, membimbing, mendidik dan tidak menjatuhkan hukuman dan vonis kepada istrinya hanya karena memiliki suatu sifat yang jelek, sebab ia pun demikian.
Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang agung, rahmatnya telah menyentuh kaum wanita dan melindunginya dari kesewenangan kaum pria. Ia telah memerdekakan perikemanusiaannya, baik jiwa maupun raga. Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai posisi dan jati diri wanita untuk mengemban tugas dan fungsi keberadaannya. Oleh karena itu, mereka sebaiknya menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaan yang ada pada diri mereka untuk menghadapi perlakuan yang dapat membuat mereka melepaskan eksistensi biologis dan psikologisnya.
Ketika fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat karena tidak mengindahkan sunnatullah. Oleh karena itu Rasulullah saw berpesan: “Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Islam telah mengangkat harkat dan derajat kaum wanita serta menjadikan mereka sebagai saudara yang sejajar dengan kaum pria. Syariat Islam telah memelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.
Kekurangan pada diri suami-isteri selayaknya dihadapi dengan positif. Sesuai kodratnya, manusia tidak akan pernah luput dari kekurangan dan kelebihan. Kekurangan harusnya menjadi sebuah kekuatan baru dalam berkreasi untuk menutupinya, saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan, kelebihan menjadi modal utama untuk membangun sebuah keluarga harmonis. Patutnya, manusia menerima kekurangan untuk menggapai keharmonisan.
”Dan bergaullah bersama mereka (istri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa:19).
Saudi Arabia, Ahad, 23 Mei 2010, 03.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar