Cukup Bagiku Allah

Posted by Ahmad Ghozali



Keikhlasan, kata itulah yang akan kita temui diurutan pertama pada papan “Panca Jiwa”, yang banyak bertebaran di lingkungan Pondok Modern Gontor. Sebuah papan berbahasa Indonesia yang kebal hukum CLI (Central Language Improvement), karena bukan hanya diperuntukkan bagi santri, tapi juga bagi kyai, guru, wali santri dan tamu Pondok Modern. Mengapa harus nilai ”Keikhlasan” yang ditanamkan pertama kali, bukan nilai-nilai lain?

Kita diciptakan di muka bumi ini hanya untuk beribadah (Q.S. Adz-Dzariyat: 56), bersifat ”menghamba”, bukan manusia ”merdeka” yang dapat bertindak sesukanya dan luput dari Ilmu Pencipta. Semua makhluk harus ikut aturan dan ketentuan-Nya, dan pada saatnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan.

Para Ulama’ sepakat bahwa syarat diterimanya amal perbuatan manusia ada dua, yakni sesuai dengan tuntunan Syariat Islam dan Ikhlas. Oleh sebab itu, ikhlas menjadi syarat pokok disamping pengetahuan kita terhadap syariat Islam.

Secara umum, manusia mengartikan ”ikhlas” sebagai ”berbuat tanpa mengharap pamrih” dan ”menerima atas suatu kehilangan”. Bagaimana kita tidak mengharap pamrih, sedangkan kita sudah mengeluarkan seluruh kemampuan? Bagaimana kita tidak merasa kehilangan, sedangkan kita sudah berusaha menjaga? Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecambuk dalam pikiran kita, sehingga terasa berat untuk melakukannya. Inikah makna ikhlas yang sesungguhnya? Tidak sesederhana ini.

Mengerjakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah ciri-ciri orang bertaqwa, tapi semuanya itu tidak akan terwujud jika ia tidak memurnikan ketaatan kepada-Nya. Inilah arti ”ikhlas” yang sebenarnya, yakni memurnikan hati, jiwa, dan pikiran untuk taat kepada Sang Pencipta (Q.S. Az-Zumar: 2 dan Al-Bayyinah: 5).

Dalam ibadah Qurban misalnya, Allah tidak akan menghitung berapa jumlah hewan yang dikurbankan, tapi kemurnian hatinya dalam mengorbankan hewan tersebut yang dinilai (Q.S. Al-Hajj: 37). Begitu pula seluruh ibadah lainnya.

Untuk itulah dalam pandangan Allah, manusia mulia bukanlah yang paling kaya, paling pintar, paling tampan atau cantik, melainkan yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat: 13). Karena seluruh ketentuan baik ataupun buruk telah ditetapkan dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum mereka diciptakan (Q.S. Al-Hadiid: 22), sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk merasa berputus asa, gembira dan menyombongkan diri (Q.S. Al-Hadiid: 23).

Hidup akan terasa begitu indah jika seseorang berhasil memurnikan hati, jiwa dan pikirannya. Seorang guru akan benar-benar mencerdaskan anak didiknya, bukan memberikan contekan disaat ujian karena merasa dibayar. Seorang hakim akan mengetuk palu kebenaran, bukan melindungi yang bersalah karena ia kerabatnya. Seorang polisi lalu lintas melalukan operasi pemeriksaan surat-surat kendaraan didasarkan minimalisasi kendaraan curian, bukan sebagai objek mencari tambahan uang saku. Seorang pengusaha akan membuka banyak lapangan pekerjaan, bukan menumpuk kekayaan. Seorang wakil rakyat akan memberikan tender kepada perusahaan yang layak dan menolak suap, bukan kepada perusahaan yang lebih banyak memberikan suap. Dan seseorang akan merasa senang menolong, bukan karena mengharap imbalan ataupun merasa berhutang budi.

Cara terbaik untuk dapat bersikap ikhlas adalah menyandarkan seluruh hidup ini hanya pada Allah semata (Q.S. At-Taubah: 129). Jika, setiap detik dalam kehidupan ini kita sandarkan pada-Nya, kita akan temukan hikmah dibalik seluruh ketentuan-Nya (lihat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Q.S. Al-Kahfi: 65-82).

Manusia tidak akan sanggup menahan luapan air, deburan ombak, hembusan angin, runtuhan bangunan, cuaca ekstrim, dan kematian, karena tinta pena telah mengering ketika seluruh peristiwa tersebut dihadapkan. Tidak ada alasan bagi bala tentara kebencian, kesedihan, kegelisahan, penyesalan dan kebinasaan untuk mengusik ketenangan jiwa. Penyakit kronis pun akan terasa ringan, musuh berbahaya akan terasa kecil, peristiwa mengerikan akan terasa biasa saja. Syaraf-syaraf tidak akan tegang, kegundahan jiwa akan reda, dan kecemasan di dada pun akan sirna, jika manusia menyandarkan diri hanya pada-Nya.

Nabi Ibrahim berkata: ”Tuhanku, Yang telah menciptakan aku, maka Dialah Yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat." (Q.S. Asy-Syua’raa: 78-82). Teladan lainnya diberikan oleh Nabi Nuh (Q.S. Yunus: 71-72), Nabi Syu’ib (Q.S. Hud: 88), orang-orang beriman (Q.S. Al-Anfaal: 2, Huud: 123, Ar-Ra’du: 30, Ibrahim: 11-12, Al-Mulk: 29, Al-Ahzaab: 3).

Dengan menyandarkan hidup hanya pada-Nya, bukan berarti kita malas dan tidak mau berusaha, tapi dengan seizin Allah-lah kita dapat memberikan yang terbaik dan memperoleh hasil memuaskan. Do’a nabi Sulaiman patut dicontoh: "...Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada orang tuaku, supaya aku dapat menyumbangkan karya yang Engkau restui serta masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang salih."(Q.S. An-Naml:19).

"Cukuplah Allah bagiku! Kepada Dialah orang yang bertawakal menyandarkan harapan dirinya!" (Q.S. Az-Zumar: 38)

Penuhi hati ini dengan satu rindu
Rindu untuk mendapatkan cintaMu
Penuhi jiwa ini dengan satu cinta
Cinta untuk mendapatkan rahmatMu

Cukup bagiku Allah, segalanya untukMu
Di hatiku ini penuh terisi segala tentang Allah
Kepada Nabi Muhammad tercurah shalawat Allah
(By Opick feat Gito Rollies)

Saudi Arabia, 9 Syawwal 1431 H, 05.58

0 komentar:

Posting Komentar